Notification

×

Satu Huruf Adalah Permata Hati

Senin, 28 Oktober 2019 | 21.59 WIB | 0 Views Last Updated 2021-09-15T09:13:49Z

 LPM Skolastik - Nailufir, merupakan salah satu komplek kamar asrama putri pondok pesantren  ternama di kabupaten. Komplek ini menampung khusus santri baru dan beberapa santri lama sebagai pengurus komplek dan pengurus kamar yang  akan membimbing santri baru. Pengenalan budaya dan peradaban pesantren akan mengalir lewat interaksi antara santri baru dan pengurus kamar.

Fira salah satunya. Ia merasa heran karena mendapat tugas sebagai pembimbing santri baru. Padahal ia baru nyantri 3 tahun dan merasa belum mumpuni untuk menjadi pendamping santri-santri baru. Menurutnya, yang menjadi pembimbing itu harusnya mereka yang sudah lama menetap di pesantren, harusnya mereka yang sudah senior agar penanaman karakter santri baru lebih mendalam karena santri yang sudah lebih dari 5 tahun sudah harus memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar.

Akan tetapi ia tidak bisa menolak karena pemilihan dilakukan melalui undian. Ia dan selurah teman seangkatannya yang telah lulus SLTA   di mintai kesediaan dan kesiapan  menjadi pengurus kamar. Ia dan dua teman lainnya di tempatkan di kamar 4  dengan kapasitas tampung 20-an santri baru. Dua rekan lainnya adalah Fitri yang telah 4 tahun, dan Farah yang telah 6 tahun. Farah menjadi ketua dan telah ditarik masuk ke jajaran kepengurusan asrama putri.

Sehabis maghrib, 30 menit sebelum kegiatan mengaji bandungan,  Fira mendapat tugas untuk membekali santri baru di kamarnya menulis aksara arab berbahasa jawa. Di kalangan santri masyhur di sebut dengan aksara pegon. Mula-mula ia menyampaikan huruf-huruf hijaiyah terlebih dahulu karena masih banyak santri baru yang belum mengenal huruf-huruf hijaiyah terutama anak-anak lulusan sekolah dasar yang  belum pernah atau belum cukup hafal huruf hijaiyah.

Bertahap, kemudian ia mulai menyambungkan huruf, membubuhkan tanda bunyi dengan harakat, lalu memberi alternatif cara membuat bacaan huruf vokal dengan tiga huruf sambung.
“Alif, kaf, wawu di baca ‘a-ku’.”. Ia berhenti sejenak memberi kesempatan anak didik nya memahami sambil menatap wajah polos mereka satu-satu. Ketika hendak melanjutkan, salah satu anak SLTA menyela
“Lho kok ‘aku’, sih, Mbak. Kan itu ada wawu nya. Bukan nya akuwa?” bertanya sambil mengernyit Fira tersenyum “Iya, kan tadi Mbak udah bilang, kita bikin alternatif biar nulis nya nggak perlu pakai harakat. Begini, Mbak jelasin pelan-pelan, ya” Fira mengambil nafas sejenak. Merasa harus lebih sabar karena ini kali pertama ia berdiri di depan orang menjelaskan suatu pelajaran.

“Jadi begini, huruf vokal dalam huruf abjad kan ada aiueo, nah, ketika dalam tulisan hijaiyah, kita pakai harakat agar kita bisa membaca huruf-huruf tersebut dengan vokal. Kalau di aksara pegon kita pakai huruf alif untuk membunyikan vokal A, huruf wawu untuk membunyikan vokal U dan O, sedangkan huruf ya’ untuk membunyikan vokal I dan E”. Fira berhenti sejenak menyelesaikan coretan di papan tulis kecil di kamarnya. Anak didiknya mendengar dengan seksama, ada yang manggut- manggut, ada yang pandangan terpaku pada coretan di papan tulis, ada yang garuk- garuk kerudung mereka sampai miring. "Sampai sini paham?” melihat beberapa reaksi gagal paham, Fira kembali membuat contoh tulisan bersambung huruf-huruf vokal pengganti harakat tersebut. “Ayo coba sebutkan bersama” ajak Fira pada anak didik nya seraya menunjuk huruf-huruf tersebut dengan kapur tulis.

Mereka menjawab pelan dan kompak “Alif, kaf, wawu, sin, dal, alif, ‘ain, ba', lam alif, jim, alif, ra' alif, kaf, sin, alif, ra', alif, fa, ya’, kaf, wawu, nun”. Fira melanjutkan “Oke, alif, kaf, wawu dibaca a-ku, alif nya dibaca ‘a’ dan kaf wawu di baca ‘ku’, ‘a-ku’ karena wawu setelah kaf itu membuat kaf di baca ‘ku'. Kalau mau di baca ‘akuwa’ maka harus di tambah huruf lagi, menjadi alif, kaf, wawu, wawu, alif. Wawu pertama untuk membuat huruf vokal u pada huruf kaf, ‘ku’ lalu wawu kedua dan alif setelahnya dibaca ‘wa’ ‘a-ku-wa', begitu. Paham?” Fira menjelaskan dengan pelan dan sangat perinci dan anak didiknya manggut-manggut “Paham, Mbak” “Lanjut, ya” tanya Fira mereka mengangguk “Sin, dal, alif dan ‘ain di baca ‘se-dang' . Sin bersiri sendiri tanpa huruf alif, wawu dan ya tadi, berarti di baca ‘ sè ’ dal, alif di baca ‘da’ dan ‘ain nya di baca ‘ng’ jadi ‘sè-dang’” Fira berhenti sejenak saat kemudian salah satu anak didiknya menyela. “O, jadi kalo nggak ada  huruf alif, wawu dan ya maka di baca  ‘ è’ ya, Mbak?” “Iya betul, biar nggak keliru dengan bacaan ‘e’ nya pegal dan ‘e’ nya raket, paham?” anak itu mengangguk
“Yang lain paham juga, kan?” tanya Fira sebelum melanjutkan. “Paham, Mbak” jawab mereka kompak.

“Oke lanjut, ba, lam, alif, jim, alif, ra' dibaca apa? Coba ada yang mengeja?” pinta Fira dan salah satu anak didiknya mengacungkan jari. “Itu di baca ‘ba-la-ja-ra” pelan-pelan ia mengeja. “Hmm?” Fira berdehem pelan menanggapi “ Benar atau salah, Teman-teman?” tanya Fira pada yang lain “Ayo coba yang lain mengeja juga” Pintanya lalu  pelan-pelan mengeja.

“Saya akan menjawab, Mbak” Fira mengangguk mempersilakan “bacanya ‘be-la-ja-rè’ eh, belajar, Mbak. karena setelah ba dan ra' tidak ada huruf alif, wawu dan ya' jadi ‘bèlajar’”. Anak itu menjelaskan sambil terkikik pelan. Fira tersenyum dan mengangguk “Iya benar sekali, jadi kalau ada huruf di akhir kalimat nggak ada tambahan alif, wawu dan ya', berarti di baca tanpa huruf vokal. Oke? yang lain sudah mulai paham, kan?”. “Iya paham, Mbak!!” Mereka berseru  karena senang memahaminya.

“Nah, udah mulai paham, ya. Ayo lanjutkan sampai selesai, tebak bersama-sama, yuk” tunjuk Fira pada tulisan di papan tulis yang belum dijelaskan. Mereka bersama mengeja kata selanjutnya “Ak-sa-ra” bahkan ada yang ‘aka-sa-ra' dan kemudian membenarkan sendiri karena berbeda dengan kebanyakan. Fira tersenyum sangat senang kemudian meng-aba-kan untuk melanjutkan. “Fay-ka-wu-ne” mereka melanjutkan pada kata dari huruf fa', ya', kaf, wawu, nun. Namun kebanyakan dari mereka heran dengan huruf baru yang mereka temui, kenapa huruf fa' memiliki tiga titik di atas dan ada tiga titik di bawah huruf kaf “ Lho, kok itu aneh, Mbak, aku baru lihat huruf fa' dan kaf punya tiga titik kaya gitu?” tanya salah satu dan yang lain mendukung. Fira kembali tersenyum. Bahkan ia tidak sadar bahwa saat ini ia banyak tersenyum menyaksikan kepolosan anak kamarnya yang menyejukkan.

“Nah, kenapa coba? Ada yang tahu?” tanya Fira dengan menunjukkan wajah sama polosnya. Semua menggeleng dan akhirnya Fira terkikik sejenak. “Oke. Mbak akan jelaskan tapi kalian harus rajin ngaji nya, ya? Harus semangat” lanjut Fira dan semua mengangguk. “ Jadi begini, kalau di dalam huruf hijaiyah nggak ada huruf P dan G, kan? Karena dalam bahasa kita banyak menggunakan  huruf- huruf yang tidak ada di huruf hijaiyah maka kita harus cari padanan huruf yang mendekati, P dangan fa', G dengan kaf, ada juga C dengan jim dan semua itu harus di beri titik tiga, kalau fa' di atas, kaf di bawah dan jim di bawah agar kita bisa membedakan antara fa' yang dibaca F atau V dengan P, jim di baca J atau C dan kaf dibaca K atau G.

Fira menjelaskan dengan pelan sambil mencoret-coret menuliskan huruf- huruf tersebut. Anak-anak kamarnya pun ber- O ria karena paham. “Jadi tulisan ini bacanya gimana, ya? Tanya Fira dan seketika ada satu anak yang menjawab dengan berseru “Pa-ya-ga-wan, Mbak!!!” seru anak itu dengan senang dan seolah yakin bahwa jawabannya benar. “Hah!!? Haha” Fira tertawa ringan merasakan lucu yang amat sangat “Yang lain??” tunjuk Fira pada seseorang “Pi-gu-wan, Mbak. Eh, ‘pi-gun’, Mbak?” Jawab anak yang ditunjuk. Sejenak Fira kembali tersenyum “Nah, kamu hampir benar tapi, disini Mbak kasih harakat fathah kecil di atas fa' dan kaf nya, ini untuk menandakan bahwa huruf vokal ini dibaca E nya raket dan O. Harakat ini digunakan jika darurat, atau sulit membedakan antara E atau I dan O atau U”. jelas Fira sambil kembali mencoret-coret dan mereka kembali manggut-manggut “Semuanya paham??” tanya Fira dengan penuh harap. “Iya, Mbak. Paham!!” jawab mereka beberapa ada yang sesekali menggaruk kerudungnya.

“ Ada yang belum paham?” tanya Fira lagi karena melihat ternyata masih ada yang rampak belum paham. Semua menunduk, yang sudah tampak paham mulai berusaha menulis dan mengeja pelan dan yang belum paham ada yang mencoret sembarang pada bukunya. “Sudah paham semua?” Fira kembali memastikan. Masih diam. Tapi kemudian ada yang mengangkat jari. “Aku belum  paham semua, Mbak ” wajahnya tampak putus asa.

“Iya enggak apa, belum paham sekarang nanti insyaallah segera paham karena masih ada kesempatan hari-hari besok, ya?” Fira mencoba memberi semangat. “Jadi yang belum paham yang mana, Nis?” Fira ingin mencoba menjelaskan kembali namun sebelum anak tersebut menjawab tiba-tuba bel berbunyi lantang setelah 30 menit usai selesai jamaah Shalat maghrib.
“TEEET...TEEETTT...TEEETTT..”

“Eh, itu bel tanda ngaji bandungan sama Abah sudah bunyi. Nisa, nggak apa kita tunda dulu penjelasan ini, ya? Jangan putus asa, sekarang belum paham nggak apa, Bakda maghrib besok kita belajar aksara pegon lagi dan latihan Imla'” terang Fira dan anak tersebut mengangguk.
“Oke, sekarang kita selesaikan majelis ini dan siap-siap menuju ruang Duror untuk mengaji bandungan sama Abah karena Abah akan segera rawuh, berdoa kafaratul majelis dulu” punsgkas Fira. Anak-anak didiknya mengangguk seraya berkemas lalu melafalkan doa yang sudah di hafal di hari lalu. “Shadaqallahul ‘adziim” ucap mereka bersama lalu bangkit mengambil kitab yang akan di kaji saat bandungan Abah.

Wallahua’lam bishsahawaab

Oleh: Betinuha Amin
Mahasiswa Pendidikan Anak Usia Dini