Notification

×

753 Suara Mengadu: Sorotan Masif Terkait Penentuan UKT di UIN SAIZU

Sabtu, 10 Mei 2025 | 17.35 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-10T10:35:44Z

LPM Skolastik - Sebanyak 753 calon mahasiswa baru (camaba) UIN SAIZU Purwokerto menyuarakan keluhan mengenai ketidaksesuaian besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. Masalah ini menjadi perhatian serius Komisi D SEMA dan DEMA UIN SAIZU dalam audiensi bersama jajaran birokrat kampus.

Dalam pemaparan yang disampaikan oleh SEMA dan DEMA, ditemukan beberapa pola permasalahan umum:

  1. UKT tidak sesuai penghasilan: Camaba dengan penghasilan orang tua tidak menentu atau bahkan di bawah Rp1 juta justru ditempatkan di grade UKT tertinggi (grade 5 ke atas, Rp4 juta lebih).
  2. Sistem tidak mempertimbangkan konteks: Seperti rumah warisan yang dihuni lebih dari satu keluarga dianggap sebagai indikator mampu.
  3. Mahasiswa tahfidz dan yatim piatu pun dikenai UKT tinggi.
  4. Orang tua korban PHK juga tak mendapat pertimbangan keringanan.
  5. Ketiadaan buku panduan atau informasi eksplisit terkait sistem penentuan UKT di UIN SAIZU memperparah kebingungan mahasiswa. Hal ini berbeda dengan kampus lain seperti UIN KHAS Jember yang memiliki pedoman transparan mengenai UKT.

“Kami menerima ratusan pertanyaan, bahkan telepon dari guru BK sekolah-sekolah. Ada informasi bahwa audiensi antar sekolah bisa menurunkan UKT siswa. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah semua sekolah bisa, atau hanya sebagian?” ungkap salah satu perwakilan DEMA.

Pihak birokrat UIN SAIZU menjelaskan bahwa penentuan UKT didasarkan pada data yang diunggah melalui sistem, dengan mempertimbangkan variabel seperti penghasilan, PBB, listrik, hingga kondisi rumah. Namun, birokrat juga mengakui bahwa sistem tidak mampu membaca konteks seperti siapa yang membayar listrik atau apakah rumah tersebut milik sendiri.

Terkait jalur masuk, birokrat menyatakan bahwa jalur seperti SPAN-PTKIN dapat menjadi bahan pertimbangan prestasi, namun bukan satu-satunya faktor penentu besaran UKT.

SEMA dan DEMA mengusulkan tiga rekomendasi penting:

  1. Evaluasi ulang UKT dengan memperhatikan kondisi ekonomi sebenarnya.
  2. Perpanjangan tenggat pembayaran UKT yang sebelumnya hingga 9 Mei.
  3. Penyusunan buku panduan UKT agar ke depan bisa menjawab pertanyaan camaba secara adil dan transparan.

“Banyak camaba keluar dari grup resmi karena tidak sanggup membayar UKT. Ada yang bahkan mengundurkan diri sebelum mulai kuliah. Ini ancaman nyata bagi keberlanjutan pendidikan mereka,” tutur anggota DEMA.

Pihak birokrat menyambut sebagian masukan dengan baik, seperti rencana perpanjangan pembayaran dan pembuatan panduan. Namun, dalam beberapa pernyataannya, juga menegaskan bahwa mahasiswa tidak mampu seharusnya mengakses KIP Kuliah. Bila tidak, maka jalan keluar yang disarankan adalah tidak melanjutkan studi.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa transparansi dan keadilan dalam kebijakan UKT bukan sekadar administratif, namun menyangkut masa depan pendidikan mahasiswa Indonesia.

Penulis: LPM Skolastik

Editor: LPM Skolastik